Rabu, 20 Januari 2010

Sejarah Taman Kota di Bandung


taman air mancur
speed 1/100
f 5,0
iso 400
taman air mancur 2
speed 1/80
f 3,5
iso 800

Ketika para perencana taman membangun "mini-botanical garden" di Kota Bandung hampir 80 tahun yang lalu, mereka membangunnya dengan konsep yang jelas. Taman haruslah menjadi sarana efektif mengakrabkan warga kota dengan alam, tempat rekreasi, tempat penelitian, dan tempat belajar mengenai siklus alam. Oleh karena itu, pemilihan jenis tanaman pun disesuaikan dengan kondisi ekologi dan iklim Kota Bandung.

"Kota Taman" atau Tuinstad itulah konsep pembangunan yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda di Kota Bandung pada masa penjajahan. Pemerintah kolonial saat itu ingin menjadikan Bandung sebagai salah satu kota khusus bagi masyarakat Eropa sehingga pada awalnya, pembangunan yang dilaksanakan di Kota Bandoeng (Bandung) saat itu sangat berbau Eropa. Seperti memindahkan Paris atau Amsterdam ke Pulau Jawa.

Namun, usaha ini kemudian mendapat tentangan dari maestro arsitek Belanda, Hendrik Petrus Berlage yang datang ke Kota Bandung tahun 1923. Ia mengkritik bentuk bangunan di Nusantara yang tidak menonjolkan ciri aksen tropis. Kritik Berlage mendapat sambutan dari perkumpulan Bandoeng Vooruit yang awalnya lahir dari organisasi Vereeniging tot Nut van Bandoeng en Omstreken,yang merupakan wadah bagi masyarakat Belanda yang ada di Bandung untuk bermusyawarah.

Ahli-ahli taman perkumpulan Bandoeng Vooruit yang terdiri atas Dr. R. Teuscher, Dr. W. Docters van Leeuwen, dan Dr. L. Van der Pijl, kemudian bersama-sama mencari desain taman tropis untuk Kota Bandung. Konsep taman tropis yang digagas oleh Bandoeng Vooruit saat itu adalah konsep taman terbuka yang bebas dikunjungi warga kota. Taman kala itu harus bisa menjadi wahana efektif guna mengakrabkan kehidupan warga kota dengan alam. Taman terbuka dapat digunakan untuk rekreasi, tempat penelitian, pengenalan jenis flora tropis, maupun untuk studi tentang siklus alam.

Untuk maksud ini, perkumpulan Bandoeng Vooruit selama tahun 1930-1935 berusaha mengubah taman-taman di Kota Bandung menjadi mini botanical garden. Sebagai sarana untuk mengenal dan belajar mengenai tanaman, keterangan nama jenis tiap tumbuhan dituliskan dalam bahasa Latin, Sunda, dan Melayu (Indonesia), pada pelat-pelat alumunium.

Berdasarkan istilah Belanda saat itu, taman (park) dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain park, plein, plantsoen, stadstuin, dan boulevard. Park adalah sebidang tanah yang dipagari sekelilingnya, ditata secara teratur dan artistik, ditanami pohon lindung, tanaman hias, rumput, dan berbagai jenis tanaman bunga. Selain itu, dilengkapi pula jaringan jalan (lorong), bangku tempat duduk, dan lampu penerangan yang berseni. Kadang kala taman dilengkapi kolam ikan dengan tanaman teratainya, tempat berteduh yang sering disebut "Gazebo" atau "Belvedere", kandang binatang atau unggas dan saluran air yang teratur.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa makna taman bagi Kota Bandung, tak hanya sebagai paru-paru kota atau ruang terbuka hijau (RTH). Banyak catatan sejarah yang dapat digali dari proses pembangunan dan perubahan yang terjadi di taman-taman di Kota Bandung. Beberapa taman yang merupakan peninggalan Pemerintah Hindia Belanda dan masih dapat kita lihat sampai saat ini adalah Ijzermanpark (Taman Ganeca), Molukkenpark (Taman Maluku), Pieter Sijthoffpark (Taman Merdeka), Insulindepark (Taman Nusantara/Taman Lalu Lintas), dan Jubileumpark (Taman Sari atau Kebon Binatang). Sekitar tahun 1950-an, Presiden Soekarno melarang rakyat menggunakan bahasa Belanda, maka taman-taman kota ini pun diubah namanya ke dalam Bahasa Indonesia.

Pieters Park, kini dikenal sebagai Taman Merdeka atau Taman Dewi Sartika, merupakan taman pertama yang dibangun di Kota Bandung. Taman yang berlokasi di Kompleks Balai Kota Bandung ini dibangun pada 1885, untuk mengenang jasa Asisten Residen Pieter Sijthoff, peletak dasar pembangunan Kota Bandung. Taman dengan luas 14.720 m2 ini dibangun oleh Dr. R. Teuscher, seorang botanikus yang tinggal di pojok Jln. Tamblong. Ia ditunjuk untuk membangun sebuah taman peringatan di depan Gedong Papak (Balai Kota Bandung) yang saat itu menjadi kediaman resmi Asisten Residen Priangan.

Di taman yang berbentuk bujur sangkar itu, berdiri sebuah bangunan berbentuk bulat, yang dahulu digunakan sebagai tempat berteduh dan tempat memainkan orkes musik. Bangunan bulat ini sering disebut sebagai Gazebo atau Belvedere. Taman ini juga sering digunakan sebagai tempat berkumpulnya tentara yang akan melakukan taptoe atau pawai obor keliling kota. Selain itu, Pieters Park yang dahulu dikelilingi beberapa bangunan sekolah, juga menjadi tempat istirahat para pelajar sambil menghafal bahan pelajaran di siang hari.

Pada 4 Desember 1996, di taman ini ditempatkan patung Pahlawan Nasional Dewi Sartika, yang kemudian mengubah pula nama taman ini menjadi Taman Dewi Sartika. Kini sebagian lahan di Taman Merdeka digunakan sebagai tempat parkir kantor Pemerintah Kota Bandung yang dinaungi beberapa pohon berusia puluhan hingga ratusan tahun.

Insulindepark terletak di Jln. Belitung No.1, yang kini dikenal dengan nama Taman Lalu Lintas. Selain berfungsi sebagai ruang terbuka hijau (RTH), taman ini juga merupakan arena bermain dan belajar bagi anak-anak. Di taman ini anak-anak dapat mempelajari peraturan, sopan satun, dan disiplin berlalu lintas.

Taman seluas 38.600 m2 ini mulai ditata sejak akhir abad ke-19. Cikal bakal Insulindepark adalah tanah rawa yang diselingi bambu. Tahun 1898, tanah ini dikeringkan dan kemudian sempat digunakan untuk upacara dan latihan olah raga bagi anggota militer karena letaknya yang memang di lingkungan kompleks militer.

Sekitar 1915-1918, setelah orang menyadari bahwa iklim Kota Bandung di musim pancaroba tidak ramah, di sekeliling lahan ini ditanami pohon kenari (Canarium commmune) dan pohon sepatu dewa (Spathodea campanulata) untuk mengurangi tiupan angin. Selain itu agar pada musim kemarau udara di Kota Bandung tidak terlampau panas.

Secara bertahap dan teratur, kemudian lapang itu ditanami berbagai jenis pohon lindung, tumbuhan hias, dan bunga-bungaan. Lapang itu diubah menjadi sebuah taman yang cukup representatif, mewakili gaya taman tropis (Indische Tropische Park) . Taman ini kemudian diberi nama Insulindepark pada 1925. Pascakemerdekaan, nama taman itu diubah menjadi Taman Nusantara, melalui ketetapan Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bandung tanggal 28 April 1950.

Tahun 1954 Badan Keamanan Lalu Lintas (BKLL) merencanakan untuk membangun Traffic Garden atau Taman Lalu Lintas di atas lahan Taman Nusantara. Pembangunan Taman Lalu Lintas dikerjakan selama dua tahun, dimulai pada 23 Maret 1956 dan diresmikan pada 1 Maret 1958. Sebagai pengelola tetap dibentuklah Yayasan Taman Lalu Lintas Bandung tanggal 26 Juni 1960. Taman ini kemudian bernama Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani, untuk mengenang putri cilik Jenderal Bintang Lima (Purn.) Abdul Haris Nasution. Taman Lalu Lintas sempat tak terurus, hingga pada 1974 beberapa ibu dari perkumpulan Bandung Kota Kembang turun tangan menanganinya.

Taman Maluku (Molukkenpark) mulai dibangun tahun 1919, setahun setelah pesawat terbang yang membawa Pastor H.O. Verbraak, S.J. (1835-1918) jatuh di sekitar lokasi yang kini menjadi Taman Maluku. Ia adalah seorang imam tentara Belanda yang bertugas dalam Perang Aceh (1845-1907). Sikapnya yang manusiawi terhadap setiap orang dari bangsa apa pun, menyebabkan ia disegani dan dicintai siapa pun. Untuk mengenang Pastor Verbraak, dibangunlah patungnya pada 1922 di ujung sebelah barat taman.

Patung Pastor Verbraak berdiri menghadap istana kediaman Panglima Bala Tentara Belanda di Nusantara (Paleis van den Legercommandant), untuk mengingatkan orang akan jasa-jasa dan perilakunya selama Perang Aceh berlangsung. Patung Pastor Verbraak, adalah sisa satu-satunya dari tujuh patung, yang menghiasi Kota Bandung dahulu. Menurut sejarawan dari Universitas Padjadjaran Bandung Dr. A. Sobana Hardjasaputra, S.S., M.A., keberadaan enam patung lain memang tak terlacak. "Saya berasumsi, sebagian patung-patung tersebut rusak saat masa revolusi," ujarnya.

Ijzermanpark yang kemudian berganti nama menjadi Taman Ganesha terletak di depan kampus Institut Teknologi Bandung di Jln. Ganesha. Taman seluas 2.750 m2 ini merupakan monumen peringatan yang dibangun tahun 1919 untuk mengenang jasa Dr. Ir. Ijzerman alias "manusia besi". Ia adalah pegawai Staats Spoorwegen (Jawatan Kereta Api Negara), yang merancang dan memimpin pemasangan jalur rel kereta api, dari Bogor ke Bandung. Ia berjasa besar dalam pendirian Technische Hogeschool (THS) atau yang sekarang bernama Institut Teknologi Bandung (ITB). Dahulu taman ini merupakan satu kesatuan dengan bangunan kampus ITB.

Hingga tahun 1950-an, di tengah serambi berbentuk setengah lingkaran di bagian atas taman, terletak sebuah patung dada Dr. Ir. Ijzerman. Namun tahun 1960 patung Ijzerman digantikan oleh patung Ganesha, yang kemudian digantikan lagi oleh sebuah tugu kontemporer yang terbuat dari baja tahan karat berbentuk rangka kubus.

Desain asli taman ini sebenarnya lebih mendekati taman ala Prancis bila dibandingkan dengan desain taman tropis. Saat bangunan rumah dan pepohonan belum tumbuh rindang dan menghalangi pandangan, dari serambi atas Ijzermanpark, orang dapat menikmati panorama indah cekungan Bandung yang dikelilingi oleh pegunungan. Dalam serambi berbentuk setengah lingkaran tersebut terdapat kotak-kotak bergambar tanda panah yang terbuat dari marmer. Panah-panah tersebut merupakan alat penunjuk gunung-gunung yang mengelilingi cekungan Bandung. Di dalam kotak terdapat pula keterangan mengenai ketinggian gunung-gunung itu, diukur dari permukaan laut.

Keadaan Taman Ganesha kini cukup terang di siang hari, karena tidak banyak pohon besar dan rimbun yang tumbuh di tengah-tengah taman, tak seperti pepohonan di Taman Maluku. Hingga kini masih terdapat kolam dengan air mancur di tengah-tengah taman. Di sekililingnya tumbuh pohon-pohon palem yang belum terlalu tinggi.

Selain sebagai tempat interaksi manusia, Taman Ganesha juga merupakan tempat singgah bagi beberapa spesies burung. Oleh karena itu di taman ini juga ada papan yang menjelaskan spesies-spesies burung yang sering "mampir" berikut perilakunya. Terdapat pula himbauan bagi pengunjung taman untuk tidak memburu dan turut melestarikan keberadaan burung-burung tersebut.

Kini, 80 tahun kemudian, masihkah fungsi taman di Kota Bandung sesuai dengan konsep awalnya? taman kota sekarang lebih berkembang sebagai penghias jalan-jalan kota bandung dibandingkan fungsi awal sebagai wahana efektif guna mengakrabkan kehidupan warga kota dengan alam. Taman terbuka dapat digunakan untuk rekreasi, tempat penelitian, pengenalan jenis flora tropis, maupun untuk studi tentang siklus alam.

0 komentar:

Posting Komentar